Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti
perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi. Perdebatan
mengenai hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu
hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin,
hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain,
pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang
melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi
dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan
bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap
kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Memperhatikan
perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang
spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan
Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari
berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang
berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian
besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum
tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian
Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu
membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan
hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di
Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku
pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh
hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat. (baca Daniel S. Lev, 1990 :
438-473).
Karena itu, dalam melihat persoalan
hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan
hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang
terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan
atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari
cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang
menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut
pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan akan
mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem hukum Indonesia
pada masa mendatang.
II.
Pandangan Aliran Positivis Tentang Hukum
Aliran positivisme hukum berasal
dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte
(1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum
perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah
secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. (Achmad Ali, 2002, : 265). Untuk
memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam
sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas
setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah
syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas
tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher
(Fletcher 1996 : 33) Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama
tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat
menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang
tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam
perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam
undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan
merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa
hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya
dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar
undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di
luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis
mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin
moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem
hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan
disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih
jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari
pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara
lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili
pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan
Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili
pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut
John Austin (seperti dikutip Achmad Ali,
Ibid, hlm. 267), hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum
berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara
tegas disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya
mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam
bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif.
Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut
menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman
senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada
legitimasi. Menurut pandangan Austin (Lili Rasyidi, 2001, : 58), hukum sebagai
suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical
system). Hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan
pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanyaperintah, sanksi,
kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke
empat unsur ini tidak dapat dikatan sebagai positive law.
Selanjutnya
Lili Rasyidi (Ibid, : 59-60)
menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical Jurisprudence dari
Austin, yaitu :
1. Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan
buruk, sebab peniliain terbeut berada di luar hukum;
2. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap
masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.
3. Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum
alam maupun mazhab sejarah;
4. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif
adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.
5. Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia
politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap
sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
6. Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Dari
kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal
dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran
positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu
diketengahkan ( Ibid. : 60). Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat
murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des
recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada
perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen (Ibid. : 61) adalah
bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti
etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan
tempat bagi betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollenyuridis
semata-mata yang terlepas dari das sein / kenyataan sosial.
Sedangkan
ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum
adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu
bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan
yang paling tanggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang
bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada
ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori
tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya
itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Selanjutnya Prof. H.L.A. Hart (seperti dikutip oleh Lili Rasyidi, Ibid. : 57),
menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai
berikut:
·
Pengertian bahwa hukum adalah
perintah dari manusia (command of human being);
·
Pengertian bahwa tidak ada hubungan
mutlak/penting antara hukum (law) dan moral atau hukum
sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;
·
Pengertian bahwa analisis konsepsi
hukum adalah :
1.
mempunyai arti penting,
2. harus dibedakan dari penyelidikan
:
a. historis mengenai sebab-musabab
dan sumber-sumber hukum,
b. sosiologis mengenai hubungan
hukum dengan gejala sosial lainnya, dan
c. penyelidikan hukum secara kritis
atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi
hukum dan lain-lainnya.
Pengertian bahwa sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam
mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan
alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan
sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran
moral;
- Pengertian bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai
pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi
rasional, pembuktian atau percobaan.
Dengan demikian kita dapat pula
mengatakan, karena negara adalah
ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam
masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil
dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk
mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan
yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan
keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal
diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan
keputusan politik (Ibid, : 93).
III.
Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia
A. Peranan Struktur dan
Infrastruktur Politik
Menurut Daniel S. Lev, yang paling
menentukan dalam proses hukum adalah
konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak
selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung
pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik,
ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).
Walaupun kemudian proses hukum yang
dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum,
namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum
mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang
berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk
hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana
pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di
dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain
institusi hukumnya sendiri.
Pengertian
hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu
perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan
proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam
kenyataan (Lihat Mieke Komar at. al, 2002 : 91).
Dari
kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu
proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk
hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh
tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan
kata“institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan
perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak
pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat
dpengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.
Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan
politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum
(pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang
kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000 : 118). Dalam proses pembentukan peraturan
hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam
institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi
diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum
tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi
politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan-
kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki
oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin
dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur
politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah
lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi
negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Seperti telah diuraikan dalam bagian
terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep
dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme.
Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam
berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem
hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian
pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis
adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan
sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat
diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi
kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah
tersebut.
Pengaruh
kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan
berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances,
seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika
diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan
kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing
lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara
dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and
balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh
undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah,
semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian,
memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak
konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum
untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal
pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat
diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum
dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah
Agung.
B. Pengaruh Kelompok Kepentingan
dalam Pembentukan Hukum
Di luar kekuatan-kekuatan politik
yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya
yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh
institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan
yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai
negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh
ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama,
lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan
adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa
pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan
apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan
reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde
baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa
perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah
undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus
ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik
Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang
master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah
soal hidup mati (Walter Lippmann, 1999 : 21).
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa
intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya
keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan
ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan
dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti
bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya
melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi
tuntutan masyarakat tersebut.
Satu
catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah
apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai
mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang
mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai
kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah (Ibid, : 15). Karena itu perlu
menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara
dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk
mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan
politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme
demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga
kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah,
kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
C. Sistem Politik Indonesia
Untuk memahami lebih jauh tentang
mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang
dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh
lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam
lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai
sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.
Beberapa
prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini
adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional
serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling
mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya
sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur
utama, yaitu pemisahan kekuasaan -check and balances -
prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip
konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan
negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan
amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi
publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses
pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu
demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan
kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta ketaatan
atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah
berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan
perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah
produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan
mengikatnya hukum diharapkan – sebagaimana yang dianut aliran positivis –
mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai
moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud
dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan
oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan
etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui
proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu
dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati
oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka
rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan
yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai
moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan
sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan
melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan
pembentukan perundangan-undangan yang baru.
IV.
Kesimpulan
1. Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah
pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami
sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum.
Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami
sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh
aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa
yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan
berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran
ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke
depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam
kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk
terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baru.
2. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya
yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan
dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan
oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada
penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya
diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta
proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.